Berbakti Kita Di Ladang
Penulis :
Dr. dr. Amirudin Rauf, Sp.OG. M.Si.
Penulis adalah mantan Bupati Buol dan Dewan Penasehat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulteng
"Kebenaran pikiran hanya bisa disematkan pada apa yang diawali Keraguan" (Rene Descartes)
Pengembaraan intelektual mengungkap kebenaran dilakukan dengan menempuh berbagai cara. Socrates misalnya, menggunakan dialog sebagai media untuk memahami isi pikiran dan jiwa manusia.
Ada energi kuat dimiliki individu untuk mempertahankan dan menyampaikan sesuatu kebenaran yang diyakini.
Hari hari terakhir cakrawala dunia kesehatan tanah air semarak dengan rancangan UU (Undang-Undang) kesehatan dalam kemasan Omnibus law.
Dialektika yg terbangun dari diskursus ini semakin eskalatif bahkan sudah mempertanyakan eksistensi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai wadah tempat berhimpun para dokter.
Lebih dari itu metode pendidikan dokter dan spesialis juga dipertanyakan. Ada anggapan IDI maupun model pendidikan belum bisa menjadi solusi terhadap permasalahan kesehatan yang terjadi.
Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan perlu transformasi total sektor kesehatan agar lebih adaptif. Dikalangan dokter terjadi polarisasi antara mendukung dan kurang setuju yang mengarah pada perpecahan.
Dokter ketika tamat mengikrarkan diri dalam sumpah hipocrates dengan modus imperatif antara sesama sebagai saudara kandung, memperlakukan sejawat sebagaimana ingin diperlakukan serta memberi kedudukan mulia terhadap para guru.
Hal demikian tidak pernah kita temukan pada profesi lain. Kompleksitas sumpah ini dapat diukur dari nilai yang terkandung didalamnya mencakup dimensi keIlahian, kesejawatan serta hukum.
Memiliki perbedaan adalah manusiawi. Musyawarah bahkan perdebatan bisa dijadikan ruang untuk mengkanalisasi pandangan masing masing. Yakin, sejatinya lebih banyak persamaan diantara kita dari pada perbedaan. Bagaimana mungkin mengorbankan banyak untuk hal kecil.
Ibarat mengarungi samudra, mungkin terjadi perselisihan arah pelabuhan tujuan, tapi jangan ada niat merusak dan melubangi kapal karena kita semua akan karam, kalah jadi abu menang pun hanya arang. Tidak ada dari kita diuntungkan.
***
Saatnya bergandengan tangan, perkuat soliditas dalam menghadapi terpaan gelombang. “Biduk lalu kiambang bertaut“
Kembali ke rumah besar. Dari sini kumandangkan nilai kejuangan demi martabat kemanusiaan. Sadar atau tidak kita sedang memainkan dadu, taruhannya rakyat dengan berbagai masalah hidup. Jangan ditambah beban mereka.
Mustahil sektor kesehatan berdiri kokoh bila salah satu pilar penopang rapuh apalagi roboh.
Akhirnya perlu disadari, masih ada tugas berat menanti. Jadilah busur bukan hanya kuat tapi dapat membidik dengan tepat hingga anak panah melesat ke masa depan yang entah bagaimana. Bisa jadi membayangkan pun kita tidak sanggup.
*Konten tajuk Opini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Buol Online.
> Baca Juga: Otak Ini Berbahaya, Ada Industri Baru di Dalamnya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari buolonline.com, mari bergabung di Grup WhatsApp "buolonline.com", caranya klik link berikut chat.whatsapp.com/Fmh879BC3ca21UZkH9Wf3X kemudian klik gabung, temukan juga kami di Facebook Buol Online dan Instagram @BuolOnline.