Andai Aku Jadi Bupati Buol: Buol Sejuta Kenangan (Cerpen)
“Eh, Nas, cita-citamu mau jadi apa?” tanya seorang gadis yang masih berusia enam belas tahun. Ia terlihat begitu cantik menurutku dengan busana muslim yang ia kenakan serta warna hijab yang senada menutupi rambutnya.
“Emm ... apa eee.” Aku mencoba untuk berpikir sejenak. "Oh iyo, insyaAllah saya mau jadi bupati,” kataku dengan perasaan senang.
Bukannya mendapat dukungan dari lawan bicara, temanku yang bernama Nafisyah itu malah menertawakanku. Diri ini seketika terdiam. Apa ada yang lucu dengan ucapanku barusan? Ah, rasanya aku menyampaikan hal benar. Menjadi bupati memang impianku dari kecil, apakah salah jika seorang remaja berusia lima belas tahun bercita-cita untuk menjadi bupati?
“Astaga, Nastria, peterlalu tinggi sekali kau pecita-cita.” Nafisyah masih terus tertawa terbahak-bahak membuat diri ini semakin bingung dibuatnya.
“Afwan, Nafisyah. Memangnya kenapa kalau misalkan cita-citaku mau jadi bupati? Ada yang lucu?”
“Tidak mungkin saya ketawa kalau tidak lucu,” ujar Nafisyah seraya mencoba untuk menenangkan dirinya akibat terlalu banyak tertawa. Ia menatapku lekat-lekat lantas memegang kedua pundakku dengan erat.
“Kenapa, Nafisyah?”
“Kau tau, kalau mau jadi bupati itu tugasnya berat, tanggungjawabnya besar. Co eee ... kalau misalkan kau jadi bupati Buol, saya yakin daerah ini tidak mo maju. Kenapa? Karna pertama, kau itu perempuan, saya yakin perempuan itu tidak bisa diandalkan dalam urursan pemerintahan. Kedua, bupati itu harus jago berani babicara di depan banyak orang. Sementara kau? Cuman ba presentasi tugas di depan kelas saja so gemetaran, apalagi ditambah kau itu punya kekurangan. Alias cadel, tidak bisa babilang huruf R dengan sempurna.” Nafisyah menjelaskan alasan dibalik ia tertawa beberapa menit yang lalu. Gadis itupun segera melepaskan tangannya yang sedaritadi menempel di pundakku lantas menatap ke arah lain.
Aku tertegun mendegar penjelasan dari Nafisyah. Entah kenapa perasaan ini semakin dibuat karut hanya karena kata-kata yang dilontarkan oleh oranglain. Jika kalian berfikir aku akan putus asa sampai di sini, kalian salah besar. Aku adalah aku, apapun yang diimpikan selama ini, aku akan berusaha keras untuk meraihnya.
Berapa banyak perempuan yang diluaran sana dikenal berkat prestasi yang mereka raih. Di satu sisi, ada Ibu Khofifah—Gubernur Jawa Timur, dan disatu sisi yang lain ada Asma Nadia—salah satu penulis novel religi yang karyanya sudah dikenal oleh banyak orang. Bahkan, sudah begitu banyak karyanya yang didaptasi menjadi sinetron serta diangkat ke layar lebar. Dua wanita inilah yang menjadi motivasiku agar tak pantang menyerah dalam meraih segara impian.
Kalau soal kekurangan yang aku miliki, tak bisa mengucapkan huruf R dengan sempurna. Bagiku, hal tersebut sangat wajar. Ya, walaupun kadang aku selalu tak percaya diri setiap berbicara dengan oranglain, merasa insecure dengan banyak orang yang bisa mengucapkan huruf R dengan sempurna. Namun, dibalik itu semua, aku berusaha untuk membangun rasa percaya diri. Karena aku yakin, setiap orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bukankah di dalam surah At-tin ayat empat Allah telah menjelaskan “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Siapa bilang orang yang mempunyai kekurangan tak bisa berbuat apa-apa. Buktinya, banyak orang diluaran sana yang punya kekurangan dalam segi fisik, namun bisa menghafal 30 juz Al-Quran. Ada orang yang buta namun bisa menghafal Quran. Ada orang yang tuli, tetapi bisa menghafal Al-Quran. Bahkan, seorang Naja Hudia—salah satu peserta acara Hafiz indonesia yang mengidap cerebral palsy atau yang biasa dikenal dengan sebutan lumpuh otak bisa menghafal 30 juz Al-Quran. Bukan cuman hafal, tetapi beliau juga bisa menghafal terjemahan serta tahu letak setiap ayat, baris ke berapa dan halaman ke berapa. Hal itulah yang selalu membuatku selalu berusaha menerima segala kekurangan yang kumiliki.
“Eh, Nas, saya som pulang dulu eee. Soalnya mamaku mocari lagi ini saya,” pamit Nafisyah membuatku tersadar dari segala pikiran-pikiran yang menghantui diriku.
“Oh, iyo ooo ... hati-hati di jalan.”
“Saya pigi dulu eee ... Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” balasku setelah Nafisyah pergi.
Ketika jejak Nafisyah sudah tak terlihat lagi dari balik pintu, aku segera mengambil buku diary di atas meja yang berada di hadapanku. Ya, disinilah aku, duduk di balkon rumah ditemani bintang-bintang yang indah mengiasi langit malam. Angin sepoi-sepoi yang meniup membuat hijab yang kukenakan terombang-ambing ke sana kemari. Bulan tampak begitu bersinar membuat suasana malam ini semakin dibuat indah sekali. Ah, rasanya aku ingin lebih lama berada di tempat ini.
Tanpa menunggu lama, aku meraih pulpen yang tergeletak di sampingku. Di halaman kedua dari buku diary tadi, aku menuliskan sesuatu di sana.
Dear Impian
Teruntuk diriku ... terimakasih telah bertahan sejauh ini. Meskipun banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Meskipun pada awalnya harus dihadapkan pada dua pilihan. Lanjut atau berhenti. Jika memilih lanjut, tidak ada kata mundur nantinya. Dan jika memilih berhenti, mulai sekarang kubur semua impian itu dalam-dalam.
Jangan pernah berhenti untuk meraih impian, sebesar dan seberat apapun masalah yang akan dihadapi. Star from bismillah, and finis with alhamdulillah. Tidak ada usaha yang akan sia-sia, yang sia-sia itu disaat impian hendak dicapai. Namun, berhenti di tengah jalan. Terimakasih diriku, telah berjuang sejauh ini. Seberkas Impian itu sudah ada digenggaman, tak lama lagi akan segera terwujud.
Setelah menuliskan kata-kata tersebut, aku memilih untuk menutup kembali buku diary lantas menatap ke arah objek yang selalu kupandangi sejak tadi. Apalagi jika bukan langit malam. Baru beberapa menit aku menikmati pemandangan yang indah di atas sana, tiba-tiba terdengar suara yang membuat atensiku teralihkan.
“Nak, nonganon tia iko?”
“Noyaudon ooo, Ma. Kati?” tanyaku pada seorang wanita paru baya yang berada di depanku. “Barangkali ada yang bisa saya bantu, Ma?”
“Dila ina. Agu kodoto, popoyongon inggat! Gudup pema mosikoya iko,” nasihat ibuku. Aku hanya tersenyum lantas mengangguk seakan berkata ‘iya' pada beliau.
***
Hujan masih saja turun membasahi bumi. Aku sendiri sudah siap dengan seragam putih abu-abuku. Sekitar lima belas menit aku menunggu, hujan mulai reda. Gegas, aku berpamitan pada ibuku, menyalimi tangannya, dan keluar dari pekarangan rumah. Kali ini aku berangkat dengan kakakku, berhubung dia juga akan pergi mengajar dan jalan yang ditujunya pun satu arah dengan sekolahku. Jadi, mau tidak mau aku harus ikut dengan beliau.
Setibanya di depan gerbang sekolah, gegas aku segera menyalimi tangan Kak Nada sembari berkata, “Makasih, Kak.”
“Iya, sama-sama. Sekolah bae-bae! Jangan ba pacaran! Raih dulu cita-citamu, ingat ada ti mama dengan ti papa yang bataruh harapan sama kau.”
“Iyo ina, Kak. Kalau begitu saya pigi ke kelas dulu. Somo maso bae-bae guru di kelas.” Ya, itulah yang terakhir aku katakan pada Kak Nada. Gegas, aku langsung berlari menuju kelas tanpa menghiraukan apakah Kak Nada masih berada di depan gerbang atau sudah pergi.
Setibanya di kelas, aku langsung menuju bangku lalu menaruh tas. Untung saja belum ada guru yang masuk, di kelas juga hanya ada beberapa temanku yang datang. Untuk itu, aku memanfaatkan waktu yang ada dengan membaca novel karya Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi. Saat aku tengah asyik membaca setiap halaman demi halaman, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku membuat aktifitasku terhenti.
“Kenapa, Nafisyah?” Aku mendongak ke arah gadis yang ada di depanku ini.
“Kau dipangge sama guru bahasa inggris. Katanya kau disuruh datang ke Lab!”
“Oke, makasih infonya. Kalau begitu, saya pigi ke Lab dulu assalamualaikum.”
Setibanya di Lab Bahasa, aku diperintahkan oleh guru bahasa inggrisku itu untuk masuk. Aku menghampiri beliau, dan saat itu diri ini diminta untuk mengaji terserah surah apa sebanyak tiga ayat. Akhirnya pilihanku jatuh pada surah Al-Mulk. Tanpa menunggu lama, aku mulai melantunkannya dengan merdu. Setelah selesai, aku di minta untuk memperkenalkan diri menggunakan bahasa inggris.
Aku melakukan apa yang diperintahkan Mam Sheina, aku berusaha untuk memperkenalkan diri menggunakan bahasa inggris. Ada rasa gugup saat itu, tidak seperti biasanya aku dipanggil ke Lab Bahasa.
“Baik, pelafalan bahasa inggris Nastria bagus. Ibu lagi menyeleksi untuk persiapan MTQ tingkat kabupaten di Lakea bulan November nanti. Jadi, ibu mempercayai Nastria, untuk mewakili kecamatan Biau dalam cabang tafsir bahasa inggris.”
Deg! Saat itu aku terdiam, berbagai pertanyaan mulai menghantui pikiranku. Kenapa harus aku yang ditunjuk? Perasaan aku sendiri tidak terlalu bagus dalam melafalkan bahasa inggris. Jangankan melafalkan, membaca saja rasanya lidahku terbelit-belit.
“Sebelumnya Nastria sudah pernah ikut MTQ?”
“Belum pernah, Bu. Cuman waktu SD pernah ikut lomba tilawah antar sekolah.”
“Oke, pas kalau begitu. Nastria siap-siap ya, untuk persiapan MTQ tingkat kabupaten ini. Nanti mulai hari rabu kita ketemu lagi di Lab ini pulang sekolah. Kita mulai latihan. Untuk yang putra, nanti ibu carikan. Supaya pasangan putra-putri,” jelas Mam Sheina.
Aku tersenyum pada guru tersebut lantas berpamitan padanya dan keluar dari Lab. Awalnya aku ragu untuk mengikuti kegiatan kali ini, tetapi setelah aku berpikir lagi bahwa ini kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, dan diri sendiri ingin mencari pengalaman baru, akhirnya aku berniat untuk ikut. Memang, bakatku bukan dibidang bahasa inggris, namun apa salahnya mencobakan? Selagi punya tekad yang kuat, dan kemamuan. InsyaAllah, semuanya pasti akan bisa dilalui.
Selama seminggu, kami para peserta cabang tafsir bahasa inggris melaksanakan latihan selama tiga hari. Senin, rabu, dan jumat. Tinggal tiga minggu lagi pelaksanaan MTQ akan dilaksanakan. Aku dan juga Alif—salah satu peserta tafsir bahasa inggris putra yang berpasangan denganku melaksanakan latihan bersama dengan kontingen dari kecamatan lain.
Kami diperintahkan untuk menghafal dan memahami materi yang telah diberikan untuk masing-masing. Sebisa mungkin, hafalan juga bertambah. Dua minggu sebelum lomba, kami terus melakukan latihan di hari yang telah ditentukan. Saat itu, aku yang terakhir kali diuji, baik dari segi hafalan Quran dan juga bagian tafisran.
Masalahnya ada pada diriku sendiri. Merasa insecure dengan peserta dari kecamatan lain. Mereka sangat lancar dalam berbahasa inggris, hafalan mereka kuat, dan pelafalan yang sangat bagus. Sementara aku? Membacanya saja masih terbelit-belit dan terbilang lambat. Sebisa mungkin aku berusaha untuk menyesuaikan diri. Karena aku percaya, bakat bukan menjadi penentu keberhasilan seseorang.
Setiap harinya aku berlatih untuk memperlancar cara membaca materi dalam bentuk bahasa inggris yang telah diberikan. Menambah hafalan, dan juga memperlancar bacaan. Setiap habis salat, aku selalu berdoa agar diberi kemudahan oleh-Nya dalam menjalani tanggungjawab ini. Kadang, setiap pulang sekolah aku langsung mengganti pakaian, makan, dan langsung latihan. Meskipun saat itu yang kurasakan capek. Orangtuaku sendiri sudah memberi izin agar aku mengikuti kegiatan MTQ ini, mendukungku, membuatku bertekad untuk bisa memberikan yang terbaik nantinya.
Sampai hari itu tiba, hari di mana penutupan kegiatan MTQ akan dilaksanakan. Ah, setiap detik rasanya terasa sangat menenagkan. Apalagi sekarang waktunya pengumuman juara dari setiap cabang. Aku hanya bisa pasrah, apapun yang menjadi hasil akhirnya nanti, semuanya telah menjadi kehendak Sang pencipta. Entah akan mendapatkan juara atau tidak, tetapi setidaknya aku sudah bisa tampil dan memberikan yang terbaik versi diriku.
“Untuk mufassirah cabang tafsir bahasa inggris. Juara satu dengan nomor peserta 333, atas nama Nastria Dewinta Mohamad, dari kecamatan Biau.”
Deg! Seketika aku teecengang, tidak tahu harus berkata apa saat itu. Ada rasa senang, haru, dan juga sedih saat itu. Aku segera berdiri, suara tepukan tangan terdengar di mana-mana. Seandainya saat itu orangtuaku hadir, aku ingin melihat mereka tersenyum. Namun, aku sudah cukup bahagia, semua keberhasilan ini tak pernah luput dari doa ibu dan juga bapakku.
Dan yang paling membuatku bangga adalah aku dipasangkan medali emas oleh pak bupati Buol di depan banyak orang. Ingin menangis saat itu, tetapi kutahan. Aku hanya bisa tersenyum sembari menyalimi tangan beliau. Benar kata orang, usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Medali ini kupersembahkan untuk orangtuaku.
“Ya Allah, terimakasih atas semuanya,” batinku.
Malam itu, menjadi malam yang tak terlupakan dalam hidupku. Apalagi tadi, untuk pertama kalinya aku bertemu dan dipasangkan medali oleh Pak Bupati. Hal tersebut membuatku semakin semangat dalam meraih impianku—menjadi seorang bupati. Hari ini benar-benar membuatku sangat bahagia, kalimat syukur selalu kuhaturkan dalam hati.
“Cuman dapar juara satu pe bangga."
Suara yang terdengar ketus itu terdengar dari arah belakangku. Gegas, aku berbalik badan seraya berkata, “Bukannya setiap hal yang terjadi pada diri kita harus di syukuri ? Bukannya kita harus menghargai setiap hal yang diri kita lakukan? Bukankah kita harus mengapresiasi atas apa yang telah kita raih? Siapa lagi yang akan menyayangi kita kalau bukan diri sendiri?”
“Iyo jo kalau yang paling benar. Tapi jangan harap kau bisa jadi mewujudkan kau pe cita-cita. Orang kayak kau mo jadi bupati? Hah, lawak,” ujar Nafisyah dengan tatapan yang sinis lantas meninggalkanku yang masih terdiam di tempat. Kala itu, aku teringat dengan kata salah satu sahabat nabi sayyidina Ali bin Abu Tholib yang berbunyi, “Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu.
***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, semuanya seperti mimpi saja. Sudah tiga tahun aku menjabat sebagai seorang bupati, begitu banyak kenangan yang kurasakan di kota kelahiranku ini. Mengurus kegiatan MTQ, membangun beberapa rumah baca buku agar kiranya para pelajar tertarik dengan dunia literasi. Kemudian, setiap hari pendidikan nasional, mengadakan lomba menulis cerpen, puisi, atau essay bertemakan pendidikan dan bekerjasama dengan pihak perpustakaan daerah. Agar kiranya, para pelajar baik tingkat SD, SMP, maupun SMA bisa mengeluarkan gagasan mereka mengenai pendidikan. Dan setelah selesai lomba, semua karya yang terkumpul akan dibuatkan dalam bentuk antalogi dan diterbitkan lantas dimasukkan ke perpustakaan daerah.
Ya, disinilah aku sekarang, menghampiri para warga yang berada di pesisir lantai. Sudah menjadi kebiasaanku untuk berkeliling setiap sore untuk melihat keadaan para warga sekitar. Betapa bahagianya hatiku saat melihat senyuman para masyarakat terutama yang bekerja sebagai nelayan. Mereka tampak begitu antusias dan bergotong-royong dalam menarik perahu, karena ada beberapa nelayan yang akan turun mencari ikan.
Fabiai-yi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan?
Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?
Semuanya tak terjadi begitu saja, semuanya butuh proses yang panjang. Alhasil, impian yang selama ini ingin kugapai, bisa terwujud juga. Aku hanya bisa berpesan, Kejarlah impianmu setinggi mungkin. Selagi mau berusaha, berdoa, dan punya niat dan tekat yang kuat, apa yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Semua yang terjadi tidak akan pernah lepas dari campur tangan Allah, tetapi percayalah. Allah telah menyiapkan rencana yang indah untuk hamba-Nya. Harapanku hanya satu, semoga kedepannya kota Buol semakin maju lagi.
Penulis: NanasLee
Hanya Seorang Penulis Pemula