Cerpen: Tante Lita
Sudah dua hari Tante Lita datang dari luar kota. Ia tidak datang sendiri, anak laki-lakinya, Acong ikut serta. Dua hari pertama berkeliling Kota Buol, mereka singgah di Masjid Raya dan Rumah Adat Buol serta keindahan Pulau Busak. Hari ini mereka berencana pesiar ke Bunobogu. Adiknya bilang, mereka harus melihat air terjun di Bunobogu. Bunobogu satu jam perjalanan yang bisa dicapai dengan angkot. Adik Tante Lita menyarankan naik bentor ke terminal angkot.
Bentor atau becak motor, angkutan umum warga Buol yang siap mengantar pelancong ke mana saja. Jika setuju dengan harga yang ditawarkan pengemudi, maka penumpang dapat diantar ke tujuan. Mereka akan menuju terminal di Pasar Buol, lalu itu mengambil angkot jurusan Bunobogu. Setelah agak lama menunggu, belum ada bentor yang lewat. Rumah adiknya, tempat mereka menginap, memang berada di jalan yang sepi. Dalam satu jam bisa dihitung kendaraan yang lewat. Tante Lita sudah mulai jengkel, ketika menyangka bentor yang lewat ternyata motor, sebab memang bunyinya sama. Ia mengomel terus, bukan saja karena tenggorokannya kering, tapi bedaknya mulai berbaur keringat. Bajunya yang berlapis-lapis menempel di tubuh karena basah. Panasnya udara Buol memang membuatnya mati gaya. Sebentar-sebentar ia mengambil kaca mungil di tas dan membetulkan letak jilbab. Melirik alis, apakah masih dalam keadaan simetris. Menengok ke kiri dan kanan untuk memastikan semuanya beres, ketika wajahnya dipandang dari segala penjuru.
"Bentor!" Acong yang juga menunggu di teras, berteriak sambil bertepuk tangan kuat-kuat, ketika sebuah bentor lewat. Ia berlari ke pagar untuk memastikan pengemudi bentor itu mendengar teriakannya.
"Ke Pasar Buol berapa, Om?"
"Dua puluh ribu saja."
"Tawar dulu, Acong!"
"Ah, mahal skali. Sepuluh ribu saja ya, cuma dekat ini. Boleh, tidak?"
"Belum bisa, dua puluh tidak mahal itu."
"Cari yang lain saja, Acong!" Kembali Tante Lita menghardiknya.
"Boleh, Om?"
"Tidak bisa, so pas itu dua puluh."
"Acong, banyak bentor lain!"
"Ya, sudah, tidak jadi, Om."
Dengan kecewa, pengemudi bentor memutar dan pergi. Belum sampai ia belok di tikungan depan kios rokok, Acong memanggilnya. Om bentor itu tersenyum dan berkata dalam hati, “Apa juga sa bilang, dua puluh ribu itu murah, daripada ba tunggu sampai sore”.
Tante Lita turun dari teras dengan sesekali menepuk-nepuk pipinya dengan tisu. Keringatnya sudah tak bisa dibendung. Daripada riasan wajahnya luntur, lebih baik membayar sedikit lebih untuk tukang bentor. Selain tak mau wajahnya berantakan, ia ingin cepat berangkat karena takut ketinggalan angkot dan tak dapat pergi ke Bunobogu hari ini. Sebab hanya satu angkot yang menuju desa itu. Angkot hanya satu kali pulang pergi. Pagi hari, ia berangkat dari Bunobogu dan pukul 1 siang ia akan kembali ke sana. Setelah itu tak ada kendaraan umum.
"Hati-hati, Om."
Tante Lita naik dulu, kemudian Acong. Om bentor memutar dan berjalan menuju pasar. Di tengah perjalanan, jalan yang biasa dilewati ditutup. Warga di jalan itu mengadakan pesta. Bila ada pesta yang menggunakan jalan umum, maka tak semua badan jalan dipakai. Sebagian disisakan untuk kendaraan yang lewat. Entah mengapa kali ini jalan itu ditutup total. Semua kendaraan harus putar balik. Bentor terpaksa mengambil jalan lain.
"Cepat ya, Om! Jangan kita tak dapat angkot."
Kata orang, banyak jalan menuju Roma. Maka demikian pula menuju Pasar Buol, hanya saja, Tante Lita sedang memburu waktu. Sopir bentor mengerahkan semua upaya memperpendek jarak. Untunglah, lalu lintas di Kota Buol tidak macet, ia bisa leluasa ngebut tanpa hambatan. Yang perlu diwaspadai adalah ketika lewat jalan-jalan kecil, di mana banyak anak-anak bermain. Melewati sebuah masjid, suara adzan Dzuhur berkumandang. Tante Lita gelisah, ia merasa bentor ini tidak bergerak, belum kelihatan ada orang berjualan yang biasanya membanjir ke luar pasar.
"Om, bisa lebih cepat lagi?"
"So dekat ini pasar, sabar, tak mo lari itu angkot."
Mereka melewati sebuah masjid yang lebih besar. Dari jauh, nampak dua anak laki-laki memakai sarung dan kopiah berlari-lari. Nampaknya salat Dzuhur akan dimulai dan terdengar suara Iqomah.
"Hampir setengah satu, Om, kenapa belum sampai di pasar?"
"Sabar, di sebelah masjid ini, so itu pasarnya," kata om bentor.
Tante Lita yang belum pernah ke Buol tentu tak tahu di mana letak pasar.
"Sabar, sabar trus."
"Yang penting kan selamat."
"Naik bentor sama dengan jalan kaki. Lebih baik turun saja kita!" Tante Lita mengancam dan mengambil ancang-ancang akan turun.
"Jangan, Ma, tanggung ini, sebentar lagi pasti sampai."
Tante Lita melengos dengan muka menyebalkan. Ketika bentor mereka belok ke kanan dan mulai terlihat keramaian di jalan itu, otot mukanya agak kendor. Motor dan bentor lalu-lalang. Bentor yang parkir malang-melintang ditertibkan oleh preman, sambil "berjabat tangan" dengan pengemudi. Beberapa pedagang kaki lima menggelar rica, tomat, ubi, dirubung ibu-ibu yang membawa tentengan belanja. Tante Lita menghela napas lega. Acong juga.
"Betul sa bilang to, so dekat pasar."
"Tapi mana angkotnya?"
"Jangan-jangan sudah berangkat. Wah, ini gara-gara om bentor."
"Belum berangkat angkotnya. Dia sedang ba putar keliling kota dulu, baru singgah di sini, bagitu biasanya, Tante."
Mereka turun dari bentor, Tante Lita membayar ongkos. Ia lalu menyerahkan uang dua puluh ribu kepada si Om. Pengemudi bentor tak mau menerima uang itu. Mukanya agak kurang hepi. Tante Lita bingung. Acong menjadi naik darah.
"Itu uangnya, Om! Sudah dikasih duapuluh, masih kurang?"
"Sa musti baputar agak jauh karena ada pesta, jadi tambah lah."
"Trus berapa maunya?"
Om bentor tidak menjawab.
"Om, itu angkot sebentar lagi datang. Apa ndak mau dibayar?"
"Kasih tambah jo lima ribu."
"Hah, lima ribu, banyak skali."
"Ya, kan musti baputar jauh skali."
"Tadi sudah sepakat ongkos ke pasar dua puluh ribu. Saya tidak tahu kalau musti lewat jalan lain," bentak Tante Lita geram.
"Sebab jalan ditutup, Tante."
"Bukan urusan saya," sahut Tante Lita.
"Kalau tidak mau ya sudah lah," potong Acong kesal.
Sementara angkot sudah datang, sopirnya turun dan mencari penumpang. Lalu menawari seorang ibu yang sedang duduk di depan kios untuk naik angkotnya.
"Bunobogu, Bunobogu!" teriaknya. Ibu tersebut segera menaikkan barang-barangnya yang setinggi Gunung Pogogul ke dalam angkot.
"Acong, bilang dulu sama sopir angkot kita mau ke Bunobogu. Suruh dia tunggu!"
Acong segera melesat menghampiri angkot dan Mama Acong menyelesaikan urusan dengan pengemudi bentor.
"Bagaimana, Om? Saya sudah mau berangkat ini," kata Tante Lita menyampaikan tawarannya sekali lagi. Ia tidak mau menambah ongkos. Selain merasa dirinya benar, ia tidak mau hal ini jadi kebiasaan untuk seenaknya mengubah kesepakatan. Sopir bentor pun berpikir bahwa permintaannya masuk akal. Pengemudi itu berkukuh pada pemahamannya bahwa ia telah menempuh jarak lebih jauh dan harus dapat kompensasi. Melihat lelaki itu masih diam, Tante Lita menyodorkan uang pecahan dua puluh ribu.
"Ini, Om, dua puluh ribu, kan situ sendiri yang minta."
Pengemudi bentor terpaksa menerima uang itu dengan hati miris. Ia menghilang di keramaian pasar. Mereka segera naik ke angkot. Acong memilih duduk di samping sopir saja agar lebih banyak tempat di belakang. Mama Acong duduk di samping pintu. Ia mendekap sebuah tas tangan yang besar.
"Acong, pegang tas mama dulu."
Angkot sudah penuh, hanya ada 3 penumpang, Tante Lita, Acong dan ibu yang barangnya banyak. Selebihnya barang titipan orang Bunobogu. Angkot mulai berjalan, keluar dari kemacetan di pasar, melewati jembatan dan membelah hutan nipah. Setelah lewat barisan nipah, angkot melintasi kebun kelapa. Sesekali sabua ada di tengah kebun. Tak lama kemudian, mereka melihat laut. Pemandangan laut yang tertimpa sinar matahari, mengintip di antara deretan hutan nyiur. Desiran angin laut membuat Tante Lita terbuai. Ia terlena dan bangun ketika mobil berhenti di Bunobogu. Mereka tiba di rumah keluarga yang dituju. Acong sudah turun dan disusul mamanya. Mama Acong akan membayar ongkos.
"Mana tas mama?"
"Tas? Tas apa?"
"Lho, tas yang tadi mama suruh kau pegang!"
"Saya pegang tas kah?"
"Kau tidur tadi?"
"Saya tidak tidur, ada bicara dengan sopir," bentak Acong tak kalah keras.
"Tapi kau pegang tas mama kan!"
"Iyo, tadi di Buol. Tapi sekarang saya tak pegang tas!"
Mama Acong gugup dan gemetar. Jantungnya berdetak kencang dan matanya berkunang-kunang. Acong juga berkeringat dingin. Mana mungkin tas yang ia pegang erat itu bisa lepas? Jelas sekali ia menerima tas itu dari mamanya dan ia jaga dengan hati-hati. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
"Acong, bayar dulu itu angkot!"
Acong memberi uang kepada sopir dan angkot itu pergi. Tante Lita masuk ke rumah kemenakannya dan Acong menyusul. Mereka disambut dengan hangat,
"Selamat datang di Buol, Tante Lita."
Foto: Kasmir Sy Male
Kontributor | |
Dyah Anggraini | |
Orang Buol yang masih dan terus belajar. temukan tulisan lainnya dari saya Klik Disini |