Andai Aku Jadi Bupati Buol: Melacak Mutiara di Tambang Emas
“Buol itu dimana?”
Seketika pertanyaan tersebut terlintas di benak saya setelah membaca publikasi sayembara konten kreatif Buol. Tidak hanya berdiam diri, segera saya mencari seluk-beluknya di internet.
“Oh, ternyata di Sulawesi”
Jujur saya katakan bahwa bagi masyarakat luar yang jarang berkunjung ke pulau berbentuk huruf ‘K’, Sulawesi hanya dikenal dengan Makassar dan Manado-nya saja. Atau sebagian orang, hanya rela berkunjung ke Wakatobi atau Bunaken yang memiliki keindahan bawah laut luar biasa. Bukan, bukan saya bermaksud membandingkan, justru hal ini bentuk keprihatinan.
Sekilas info, Kabupaten Buol merupakan hasil dari pemekaran 9 kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten ini masih tergolong baru karena diresmikan pada tahun 1999. Buol begitu menjunjung tinggi kegiatan tanam-menanam produk pangan. Hal ini terbukti dari visi yang diusung, yakni “Terwujudnya Masyarakat Madani Kabupaten Buol Melalui Sumber Daya Manusia yang Berdaya Saing, Pertanian Maju dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan”.
Padahal Buol juga dianugerahi keelokan alam yang tiada duanya, khususnya kawasan berair asin. Ketinggian wilayah daratan Buol dari permukaan laut hanya sekitar 2-27 meter saja. Artinya peluang wisata bahari di Kabupaten Buol begitu besar. Sangat disayangkan apabila berkat ini tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Asa Wisata
Tidak hanya pertanian dan perkebunannya, tanah Buol juga menyediakan timbunan kilauan emas. Keduanya seakan digenjot pemerintah demi dalih menyongsong perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, aspek pariwisata hampir selalu dianaktirikan dan jauh dari angan-angan prioritas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nugroho (2020), bahwa pariwisata dianggap sektor alternatif ketika sektor lain, seperti industri dan perdagangan mengalami kelesuan.
Fakta inilah yang membuat wisata khususnya di daerah-daerah seperti Buol sulit untuk berkembang. Uniknya, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat total devisa negara dari wisata mencapai US$ 16,426 miliar di tahun 2018. Bahkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menargetkan keuntungan Rp 24,31 triliun pada tahun 2022.
Dari uraian tersebut, ada beberapa masalah yang mengganjal pariwisata naik daun, diantaranya:
Kebijakan dan realitas sering kali bertentangan. Misalnya saja kawasan cagar alam yang dialihfungsikan sebagai objek wisata pula.
Minimnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal ini dapat dicontohkan dari rendahnya kesadaran pengunjung terhadap kegiatan membuang sampah di area wisata.
Rendahnya investasi dari pihak luar.
Publikasi yang kurang digaungkan.
Belum memadainya infrastruktur pendukung, seperti akses menuju lokasi wisata yang relatif sulit dan tidak ada fasilitas penyokong sarana prasarana.
Andai Jadi Bupati Buol, Saya Angkat Wisata Demi Nama Daerah
Masih ingatkah Anda dengan materi pelajaran di masa sekolah terkait pengakuan de facto sebagai persyaratan pendirian sebuah negara? Begitu pula dengan wisata, pengenalan dan penyebaran informasi merupakan salah satu faktor utama untuk menjadikan suatu daerah dapat dikenal oleh khalayak luas.
Jika saya diberi kesempatan menjadi Bupati Buol, maka saya akan mengunggulkan pariwisata yang justru sering dinomorduakan. Tujuannya supaya nama Buol lebih banyak diketahui masyarakat domestik sampai wisatawan mancanegara. Kita dapat melihat Bali dengan Pantai Kuta-nya, sebagai sebuah pulau yang berhasil menjadi panutan pariwisata di Indonesia. Khususnya pariwisata yang mengandalkan kolaborasi wisata alam dari keindahan pantai dan kekayaan warisan budaya.
Selanjutnya, saya akan berusaha memetakan strategi transformasi wisata bahari di Buol berdasarkan potensi yang ada. Dilansir dari situs Topik Terkini, pariwisata kebaharian yang dapat dikembangkan berupa pantai, seperti Pantai Batu Susun, Pantai Teluk Mokupo, Teluk Lokodidi, Teluk Lilito, dan Teluk Lunguto. Kawasan tersebut menyimpan keanekaragaman flora dan fauna meliputi hutan mangrove, kepiting kenari, ikan hias air laut, terumbu karang, dan budidaya rumput laut.
Sementara itu, Buol juga mempunyai 6 buah pulau yang kerap dijadikan sebagai spot wisata, yakni Pulau Busak, Pulau Raja, Pulau Lesman, Pulau Panjang, Pulau Ringgit, dan Pulau Boki. Nama Pulau Busak sering diusulkan sebagai jujukan warga Buol untuk melepas penat setelah bekerja. Meski sama-sama tidak berpenghuni, di sisi lain, Pulau Boki belum sepopuler Pulau Busak. Kondisi ekosistem pulau-pulau kecil di Kabupaten Buol yang masih alami dianggap sebagai daya tarik dan nilai plus terutama bagi wisatawan penyuka ketenangan.
Untuk metode pengembangan Pulau Boki sebagai peluang kepariwisataan, saya selaku pemerintah bagian pihak pemangku kepentingan (stakeholder) akan melakukan sejumlah langkah, diantaranya:
Berkolaborasi dengan kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kemenparekraf, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merumuskan peraturan pengelolaan kawasan pulau kecil. Sebab selama ini pulau kecil diawasi dan dilindungi dalam bayang-bayang ketentuan konservasi perairan. Peraturan tersebut juga mewadahi analisis kapasitas jumlah orang yang diperbolehkan berkunjung setiap harinya (carrying capacity) seperti yang akan diterapkan di Pulau Komodo.
Membangun aksesibilitas, seperti transportasi penyeberangan, jalur kendaraan, dan akomodasi penginapan bersama perusahaan swasta. Untuk dapat berkunjung ke Pulau Boki, biasanya dapat ditempuh dalam kurun waktu sekitar 3 jam perjalanan dengan menumpangi kapal laut.
Memaksimalkan atraksi yang berorientasi pada alam. Pulau Boki sendiri dikelilingi oleh perbukitan yang menambah kesan menenangkan. Kondisi ekosistem taman bawah lautnya (under sea garden) berupa terumbu karang juga bisa dijadikan sebagai lokasi snorkeling maupun menyelam.
Tetap memperhatikan aspek lingkungan dengan mengedepankan pedoman wisata peduli alam, seperti memberlakukan sanksi bagi pengunjung yang membuang sampah sembarangan.
Menerapkan fungsionalitas teknologi dan informasi dalam pengembangan wisata di Pulau Buol. Misalnya saja merilis website resmi AyokeBuol.com sebagai metode untuk pemesanan tiket berbasis daring. Upaya ini juga berguna untuk melihat kuota yang tersisa ketika wisatawan berminat untuk berkunjung. Hasil survei Agoda.com menunjukkan bahwa wisatawan era tahun 2020-an mengharapkan penggunaan teknologi untuk efisiensi dalam pemesanan tiket dan perjalanan.
Mengoptimalkan potensi non fisik, misalnya mempertontonkan kesenian budaya dan menjunjung keramahtamahan masyarakat lokal.
Peningkatan promosi dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial dan media massa online. Pemerintah Buol juga bisa menggaet influencer dari kalangan anak muda untuk merangkul lebih banyak orang.
Akhir kata, mengimplementasikan potensi pariwisata bahari yang ada di Kabupaten Buol tidak dapat sukses berjalan jika tidak ada kerja sama. Semua pihak harus bergandengan tangan untuk mewujudkan wisata bahari Buol dapat setara dengan daerah lainnya. Serta tetap memperhatikan kelestarian alamnya demi keberlanjutan wisata yang sehat dan bertanggung jawab.
Referensi :
Mardjuni, M. K. (2022). Melihat lebih dekat potensi pesisir Kabupaten Buol. https://topikterkini.com/2022/04/18/melihat-lebih-dekat-potensi-pesisir-kabupaten-buol/. Diakses pada 11 Oktober 2022.
Nugroho. (2020). Beberapa masalah dalam pengembangan ssektor pariwisata di Indonesia. Jurnal Pariwisata, 7 (2), 124-131.
Penulis: MelSebutir Pasir PantaiTulisan ini dalam versi asli tanpa penyuntingan, merupakan salah satu karya peserta SayembaraKonten Kreatif Kado untuk Hutda ke-23 Kabupaten Buol. Sayembara ini dilaksanakan independen dan tanpa terafiliasi dengan institusi pemerintah.
Tiap-tiap opini dalam tulisan peserta tidak mewakili pandangan Buol Online dan merupakan tanggung jawab penuh penulis.