Puisi: Terima Kasih Bonekanya
Aku berkaca, melihat ke arah lenganku.
Nampak bercak biru itu masih terlihat di sana.
Lebam yang kudapat saat bermain di taman kecil di seberang sungai.
Atau setidaknya, begitu kataku pada Ibu.
Bukan apa-apa,
Aku hanya tak ingin Ibu khawatir.
Terakhir kali Ibu menangis karena aku,
Ayah memarahiku habis-habisan.
Aku menyudahi berkacaku, memilih untuk bergelung di atas kasur.
Perutku perih, sangat perih.
Perih yang selalu menyerangku berbulan-bulan ini.
Tapi kata Ibu perih itu wajar.
Kata Ibu, itu karena aku yang haid terlalu cepat dari umurku.
Biarlah, kali ini pun aku tak ingin membuat Ibu khawatir.
Walau perih ini makin menjadi, aku anak yang kuat.
Kata Ayah juga aku ini kuat, karena bisa melawan rasa takutku sendiri.
Kata Ayah, aku anak yang hebat, karena bisa menyimpan rahasia rapat-rapat.
Terdengar ketukan pelan di pintu kamarku.
Perlahan pintu berkerit membuka, kulihat Ayah sedang berdiri di sana.
Berdiri sambil menggenggam boneka baru.
Ya, Ayah telah berjanji membelikanku boneka baru.
Janji yang Ayah ucapkan dua hari yang lalu,
saat aku mendapatkan lebam di lenganku.
Janji yang Ayah ucapkan,
sembari membersihkan darah yang mengalir di kedua pahaku.
Hiburan untuk perih yang selalu kurasakan di perutku setiap malam.
Bayaran untuk tutup mulutku atas perbuatannya selama ini.
Terima kasih bonekanya, Ayah.
Puisi ini dibuat untuk ikut berpartisipasi dalam proyek penyusunan Buku "Aku dan Kekerasan Seksual" dalam rangka Kampanye Lawan Kekerasan Seksual oleh FTBM (Forum Taman Belajar Mandiri) Sulawesi Tengah
Kontributor | |
Ayung L | |
Penulis yang ingin terus belajar. A mundane turophile temukan tulisan lainnya dari saya Klik Disini |
Merinding bacanya