Cerpen: Camaraderie


Netraku tak lepas dari bangunan kokoh di ujung jalan sana. Memindai sudut demi sudut bangunan tersebut yang dilapisi dengan warna oranye, sebuah ciri khas cat yang tak pernah lepas dari bangunan sekolah–ya, sekolah. Sekarang aku, sebut saja Kanaya sedang berdiri sembari menggendong tas mini yang berisi sekumpulan alat tulis menulis beserta kawan-kawannya.

“Kak, masuk sana. Sudah cukup melihat-lihatnya, mulai dari sekarang sampai dua tahun kedepan kamu akan puas melihat bahkan bermain di lingkungannya,” ujar Ayahku sambil mengusap pelan puncak kepalaku yang dibalut hijab berwarna putih.

Aku menghela napas panjang, berusaha menghilangkan rasa gugup, aku tak ingin berlama-lama di tempat ini dan secepatnya balik ke rumah. Nahas, semua hanya khayalan itu lalu berhasil dibuyarkan oleh seseorang yang baru saja memanggil namaku dari depan gerbang sana. Dia Sarah, sahabat kecilku, kami berdua mulai menjalin pertemanan ketika duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4. Namun, ketika menjelang kenaikan kelas 6, ayah memboyongku beserta Ibu dan kedua adik kecilku pindah ke Kota Makassar dengan alasan pekerjaan.

Aku hanya memandang Sarah dengan lekat, wajahnya tak berubah selama 7 tahun ini, hanya saja bentuk tubuhnya yang dulu sangat gemuk, kini terlihat lebih kurus. Walau kami terpisahkan jarak, tak jarang aku beserta keluarga datang mengunjungi kota kelahiranku ini meski hanya setahun sekali. Karena tinggal bertetangga, Aku dan Sarah pun masih sering bermain bersama setiap aku berada di kota ini.

“Nay, ayo masuk! Sebentar lagi bel! Kamu mau terlambat di hari pertama masuk sekolah?” ajak Sarah yang baru saja menghampiriku. Nah, satu lagi, cerewetnya yang dulu ternyata belum hilang sampai sekarang. Yah, aku harus menyiapkan telingaku terus mendengar ocehannya lagi.

“Iya, ini juga mau masuk, kok!” Dengusku yang dibalas kekehan dari Sarah dan ayahku–huft, mereka memang sefrekuensi.

Cih!

Akhirnya dengan berat hati, aku mengikuti Sarah memasuki halaman sekolah baruku setelah berpamitan dengan ayah.

Baru saja menginjakkan kaki di depan gerbang, seorang satpam berperawakan tinggi tegap yang jika kutaksir umurnya kisaran kepala empat–mengucapkan salam kepada kami berdua. Belakangan kutahu ternyata bukan hanya kami! Ternyata, semua siswa-siswi lainnya yang baru masuk halaman sekolah pun disapanya.

Memang mulutnya tidak capek? Sudah seperti robot saja!  Batinku.

Mataku terpaku di sebuah Taman asri dan cantik, dikelilingi beberapa pohon rimbun yang dipangkas dengan rapi. Di tengah taman itu, terdapat kolam berbentuk bulat yang siap menampung hujaman air mancur. Tak habis pikir Aku bagaimana cara mereka membuatnya seunik itu. Taman tersebut sangat nyaman dijadikan tempat untuk belajar maupun membaca saat matahari tak memperlihatkan kilap terangnya.

Aku pernah mendengar Kalimat Gerakan Sekolah Menyenangkan, mungkin inilah upaya para warga sekolah SMK Negeri 1 Biau membangun ekosistem sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk belajar ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup.

Enam langkah, ya! Sempat ku hitung. Seorang Guru perempuan memanggil Aku dan Sarah.

Seperti bayangannya, aku selalu mengikuti pergerakan Sarah dari belakang, ketika menghampiri guru tersebut Sarah menyalami telapak tangan beliau, aku pun mengikutinya. Diriku sempat kagum melihat awal pertamaku di sekolah baru ini, etika dan sopan santun sudah diterapkan dengan baik. Mungkin semua sekolah seperti ini, tapi inilah kesan pertama yang kudapat dari Sekolah SMK Negeri 1 Biau Di Bumi Pogogul, Kota Buol, tempat kelahiranku.

“Kalian berdua tolong ambil rumput ini setelah itu buang di tempat pembuangan sampah di belakang kelas sana,” pinta Ibu Ayu sembari menunjuk ke arah pembuangan sampah, aku tahu nama beliau sebab melihat name tag miliknya.

Mengangguk, aku dan Sarah perlahan berjalan ke arah belakang kelas tersebut yang ternyata banyak sekali siswa yang mengantri membuang sampah di sana.

Bahkan untuk membuang sampah saja mereka mengantri tanpa berdesak-desakan, sekali lagi, aku berdecak kagum melihatnya. Apa iya di sini ada Cctv sehingga mereka takut apabila kepergok nanti? Sudahlah, kini giliran kami yang membuang sampah.

Setelah membersihkan tangan dari bekas kotoran rumput, aku dan Sarah memasuki kelas yang kuyakini ialah kelas baru yang akan kutempati menuntut ilmu di sini. 

Tak henti-hentinya aku berdecak kagum, desain interior di dalam ruangan kelas ini sangat indah dan rapi, mungkin sesuai nama jurusannya Tata Busana, dengan berbagai bahan dari kain dibuat menjadi beberapa alat bahkan pajangan di tiap sudut-sudut ruangan ini.

Perasaan takut yang menyelimuti diriku dari semalam, kini mulai memudar. Aku mendapat teman baru bahkan lebih dari yang kukira, mereka datang berkenalan denganku tanpa malu-malu dan mulai mengajakku berbicara mengenai alasanku pindah, dari mana asalku dan lain sebagainya. Mulai terbiasa, aku pun mulai meladeni Fira dan Nesa, teman baruku, sebut saja begitu.

Tak lama, bel penanda apel masuk mulai terdengar, aku menyambut uluran tangan sembari tersenyum kepada Nesa yang mengajakku keluar kelas mengikuti apel.

***

Sudah seminggu sejak hari pertamaku masuk sekolah baruku, kini aku bersama Sarah, Fera dan Nesa sedang beristirahat sejenak usai mengerjakan tugas kelompok yang dikerjakan di rumahku. Merasa lelah, aku merenggangkan otot persendian yang terasa kaku. 

“Eh, guys, buka grup PTA! Katanya besok kita disuruh kumpul ke sekret, kayaknya untuk rapat tentang kemah!”, seru Nesa. Sontak membuat raut gembira di wajahku. Inilah yang kutunggu-tunggu, kemah! Tentu saja. Organisasi yang tak pernah kutinggalkan semenjak SMP, Pramuka–meski mungkin bagi orang lain Pramuka hanyalah organisasi untuk membuang-buang waktu di tempat kotor saja.

Cih! Itu hanya pemikiran orang awam yang tidak pernah mengerti apa itu Pramuka sebenarnya.

Dengan cekatan, aku meraih ponselku yang tergeletak di atas meja. Dan benar saja, di grup PTA ketua ambalan telah memberi instruksi yang mewajibkan kami datang ke sekret seusai pulang sekolah besok, untuk mengikuti rapat.

***

“Jadi bagaimana, kita mau naik kendaraan sendiri atau ikut naik bus?” tanya Fira. Aku berdecak kesal, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak bisa naik bus, yang ada nantinya selama perjalanan aku hanya muntah-muntah dan mengganggu kenyamanan orang lain.

Dan aku tidak mau berada di posisi itu nanti!

“Aku tetap naik motor, kalian terserah saja!” Dengan nada ketus aku memprotes dan tetap pada pendirianku, ini juga demi kesehatanku dan kenyamanan orang dalam perjalanan.

Fira menatapku dengan diam, entah apa yang dia pikirkan, aku tidak bisa membaca raut wajahnya. Sebelum akhirnya ia membuang nafas kasar dan mengangguk pelan. “Baiklah, kita berempat naik motor kalo begitu!” tandasnya.

Kaget, aku menggelengkan kepalaku tanda tak terima. Jangan karena aku tidak ikut naik bus mereka bertiga jadi ikut-ikutan, aku tidak enak hati jadinya. “Loh, kalian kenapa sih, jadi ikut-ikutan naik motor?”

“Ini aku yang mau sendiri, kalo kalian mau naik bus itu terserah kalian saja, aku tidak apa-apa, kok!” imbuhku, berusaha tidak bersikap egois.

Kini, giliran Nesa dan Sarah yang menggelengkan kepalanya, apalagi ini!

No, aku ikut naik motor juga!” Mereka berdua menjawab secara bersamaan setelahnya terkekeh kecil.

Lelah berdebat, aku menandaskan minumanku yang sempat kubeli tadi sehabis rapat di sekret, rasa coklat dingin terasa segar memenuhi tenggorokanku. Aku mengecek jam di pergelangan tanganku, rupanya waktu Sholat Ashar tersisa 10 menit lagi. Bergegas aku meraih tasku dan menggendongnya.

Belum ada tiga langkah, lenganku ditarik dari belakang. Berbalik, aku menatap siapa pelakunya, lagi-lagi Fira, apa permasalahan ringan ini belum juga selesai?  “Apa lagi?”

“Aku minta maaf karena dari tadi ngotot mengajakmu buat naik bus, tapi sekarang kita sepakat bareng naik motor. Aku sama Nesa, kamu dengan Sarah, oke!?” Paparnya sembari tersenyum. Itu senyum tulus, aku mengakuinya, mungkin sama denganku, ia juga lelah berdebat.

“Iya, ih. Aku juga minta maaf. Sebentar lagi Ashar, ayo ke Musholah!” Aku beralih menatap mereka satu persatu.

Mereka mengangguk bersamaan, lantas dengan perlahan kami mulai meninggalkan Taman, tempat peristirahatan kami sore ini.

***

Rintik hujan bagai panah menghujam kulit wajahku, tubuhku mulai menggigil. Sedikit lagi, tidak ingin berlama-lama, aku menambah kecepatan sepeda motorku kala memasuki lorong kompleks perumahan yang saat itu telah sunyi, hanya beberapa warung yang masih terbuka.

Cuaca petang ini sangat buruk, langit yang mendung perlahan mulai menggelap sepenuhnya. Adzan maghrib mulai berkumandang tepat ketika kendaraanku memasuki halaman rumahku, kumatikan mesin motor setelah memarkirkannya di teras, lalu melangkah masuk ke arah pintu rumah.

Hawa dingin menyusup ke kulitku yang terbuka, sambil merapatkan jaket yang kukenakan, aku mulai mengetuk pintu rumah sedikit keras. “Assalamu'alaikum.”

Setelah dua kali ketukan, pintu rumah mulai terbuka dan terpampang sosok wanita paruh baya yang memakai mukenah putih, beliau Ibuku yang telah merawatku dari kecil. Raut wajahnya terlihat sangat cemas dengan cepat aku menyalami telapak tangan ibuku.

“Kenapa baru pulang, Nak?” tanya Ibuku. Benar saja 'kan ternyata ibu merisaukan aku.

Aku tersenyum untuk memperlihatkan bahwa diriku sedang baik-baik saja. “Tadi singgah ke toko dulu beli perlengkapan pramuka, terus mampir lagi menitipkan perlengkapan yang dibeli ke rumah teman, jadi besok baru aku ambil, deh,” jelasku secara jujur. Setelah memberi nasehat, ibu menyuruhku membersihkan diri dan secepatnya sholat.

***

“Ayah, besok mau ada kemah. Boleh Aku ikut?”

Ayah yang sedang menonton acara televisi pun mengalihkan atensinya padaku. “Berapa hari?”

Kalau pertanyaannya begini, sudah pasti diizinkan. Aku pun semakin bersemangat menjawab. “Dua hari saja kok, Yah. Tidak lama, cuma perjusami!”

“Kemahnya di mana?”

“Di Hutan Asahan, tidak jauh dari kota. Jadi kalo Ayah mau jenguk Kakak, bisa langsung datang, deh.”

“Geer kamu, memangnya tau dari mana Ayah mau datang?,” goda Ayahku. 

Aku menggerutu kesal, “Ih, Ayah. Jadi boleh tidak!?”

“Iya, boleh. Tapi ingat, jangan pisah dari rombongan supaya tidak tersesat. Sana, buatkan Ayah kopi, cepat!” titah Ayah. Dengan rasa senang, secepat kilat aku berlari ke dapur untuk membuatkan Ayah kopi spesial buatanku.

***

Keadaan sekret kali ini sangat ramai dari sebelumnya, sebab ketua Ambalan mengundang gudep Pramuka sekolah lain ikut serta melaksanakan PTA bersama. Setelah mengikuti instruksi panitia, kami diarahkan untuk ke depan sekolah karena bus yang kami tumpangi telah berada di sana.

Sesuai kesepakatan bersama kemarin, Aku dan Sarah mengendarai motor milikku. Di depan sana Bus mulai berjalan ketika semua anggota Pramuka telah masuk. Aku dan Sarah pun mulai menjalankan motor dan dari arah belakang Fira dan Nesa mengikuti kami.

Tak terasa 30 menit perjalanan, akhirnya kami berhenti di lorong kecil yang kemungkinan Bus tidak bisa masuk kesana, terpaksa semuanya turun dari dalam Bus dan memutuskan untuk berjalan saja. Karena motor yang memang pada dasarnya berukuran sedang, kami bisa memasuki lorong tersebut. Namun, alam seakan tak bersahabat dengan kami, jalan bebatuan lagi becek mengharuskan kami ikut berjalan bersama rombongan. Aku pun menitipkan motor di salah satu rumah warga setempat.

Akibat cuaca hujan semalam, sepanjang perjalanan penuh lumpur dan sangat licin, membuat kami harus berhati-hati agar tidak terpeleset jatuh ditambah jalanan semakin mendaki. Arahan dari pembina agar kami beristirahat sejenak, membuat aku dan lainnya cepat mengambil tempat duduk di bebatuan besar. Tergesa-gesa, aku lalu membuka botol air minum berisi 3 liter air yang sempat kuisi tadi di rumah.

Kerongkonganku terasa segar kala air mulai membasahinya. Atensiku lalu beralih ke arah anggota Pramuka lainnya, ternyata banyak yang tidak membawa air. Hatiku tergerak merasa iba melihat mereka hanya berdiam, bahkan panitia konsumsi pun ternyata belum sampai di sini.

Aku berdiri, berjalan menuju tempat para panitia berada. “Permisi, Kak. Tadi saya sempat lihat teman-teman banyak yang tidak membawa air. Sedangkan perjalanan sepertinya masih jauh, lebih baik air minum ini dibagi-bagikan saja kepada yang tidak membawa air,” tuturku sambil memberikan botol besarku yang berisi air.

“Maa syaa Allah, terima kasih, Dek. Terus adek minum apa nanti?” tanya salah satu Kakak panitia perempuan.

Aku tersenyum menjawab, “Saya sudah minum, Kak. Kalau nanti di Perkemahan 'kan bisa masak air lagi.”

Perempuan itu tersenyum kembali berterima kasih kemudian mulai membagi-bagikan air sampai semuanya dapat meminum.

Telah terhitung 5 menit beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Berjalan setapak demi setapak, akhirnya sampai juga di tempat perkemahan. Rasanya capek, pegal badan, namun terasa senang. 

Ketua kembali memberikan kami arahan agar secepatnya membuat tenda dan lainnya mencari kayu bakar. Karena tidak tahu cara membuat tenda, aku terpaksa mencari kayu bakar saja ditemani dengan Nesa. Setelah selesai, kami diberikan waktu untuk membersihkan diri sebelum kembali mengikuti kegiatan selanjutnya.

“Nay, kamu mau mandi sekarang atau nanti?” tanya Sarah sembari mengaduk beras yang sedang dimasak.

“Mandi sekarang, biar nanti kita gantian masaknya,” balasku. 

Selesai sedikit berbincang-bincang, aku dan Nesa masuk ke dalam Tenda yang dibuat sangat sederhana beratapkan terpal dan patok kecil di tiap sudut-sudut tenda. Beda dengan para panitia yang terbuat dari tenda dome. Tanganku dengan lincah memilih pakaian yang akan kukenakan, akhirnya tatapanku jatuh di hoodie coklat polos dan rok plisket berwarna navy ditambah hijab pasmina hitam andalanku. 

Dengan beralaskan sendal jepit, aku dan Nesa berjalan ke arah sungai yang tidak jauh dari tempat perkemahan. Air jernihnya menyambut kami, tidak sabar rasanya ingin segera berendam di sana. Secepatnya aku melepaskan sandalku dan melompat dari batu besar ke sungai. Segar, itulah yang kurasakan. Setelah 10 menit membersihkan diri, aku dan Nesa segera naik dan memakai pakaian. Para anggota Pramuka lainnya pun sudah mulai berdatangan untuk ikut mandi.

***

“Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.”  

“Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh.”

Serentak para calon Anggota Pramuka menjawab salam Ketua Pradana. Setelah selesai makan, kami dipanggil untuk melakukan apel malam.

“Selamat malam adik-adik semua, seluruh peserta tamu ambalan dihimbau agar menyiapkan fisik kalian sebaik mungkin, kalau ada yang merasa tidak enak badan, silakan beristirahat tanpa perlu mengikuti materi malam ini. Ingat! Mulai dari sekarang pelajari materi yang akan diberikan oleh Pembina karena besok kalian akan ditanyai, paham semuanya?

“Siap, paham, Kak!”

“Baiklah, sekarang ambil alat tulis. Kakak hitung sampai lima, semuanya sudah kembali ke sini, cepat!”

Tanpa menunggu lama, kami berhamburan lari menuju tenda untuk mengambil alat tulis yang diperlukan.

***

Alarm Adzan yang sudah kusiapkan semalam, berdering tepat di samping kepalaku. Walau mata terasa berat untuk terbuka, aku tetap memaksakan bangun dari tidurku. Kurenggangkan otot persendian yang terasa kaku, ternyata Fira yang tidur di sampingku merasa terganggu karena pergerakanku.

“Jam berapa, Nay?” tanyanya dengan suara agak serak khas bangun tidur.

“Jam 4, ambil air wudhu, yuk!. Sudah Adzan, nih!” ajakku.

Fira mengangguk, lalu membangunkan Nesa dan Sarah yang masih berkelana dalam mimpinya.

Perlahan, aku membuka tirai pintu tenda. Udara sejuk membawa angin segar di pagi ini. Kurapatkan mataku sembari menarik nafas pelan-pelan menikmati hembusannya yang terasa sejuk lagi menenangkan kurasakan.

Setelah mengambil air wudhu, kami berempat menuju ke tribun yang sudah ramai dengan anggota Pramuka yang telah bersiap-siap melaksanakan Sholat Shubuh. Aku mengajak Nesa, Fira dan Sarah untuk mengambil tempat di belakang paling kiri, tempat shaf perempuan.

***

Hutan Asahan yang berada di Kabupaten Buol, tepatnya di Desa Kumaligon merupakan tempat Wisata baru. Perkemahan kali ini membuatku sadar ternyata banyak keindahan Lingkungan yang tersembunyi, contohnya Hutan Asahan yang dijadikan tempat Wisata tanpa merusak Lingkungan tersebut.

Alhamdulillah, kini aku dan seluruh anggota Pramuka telah berhasil melewati berbagai rintangan menjadi anggota dari Ambalan Soekarno dan R.A Kartini. Sudah 2 hari kami menempati hutan ini dan besok pagi kegiatan ini telah berakhir. Rasanya aku masih ingin berlama-lama lagi di sini, tapi sudahlah, mungkin lain hari aku harus mengajak Keluargaku kembali ke Wisata Hutan Asahan ini.

*) Photo by Tegan Mierle on Unsplash

Kontributor
 Ayshlynnn
 Siswi SMK Negeri 1 Biau
 Temukan tulisan lainnya dari saya Klik Disini

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Kami menerima siaran pers untuk kegiatan sosial dan nonprofit secara Gratis! Pasang Iklan Banner dan Artikel Iklan di Buol Online mulai Rp 350 ribu, untuk Media Partner dan kontrak kerjasama jangka panjang hubungi Admin PT. Buolpedia Media Indonesia di 0822-9631-0002