Film Dokumenter Watchdoc “Hutan Untuk Siapa?” Mengambil Latar Buol dan Sigi Tayang di Youtube



Sejauh mana kita paham persoalan naiknya harga minyak goreng?

Lalu apa hubungannya dengan kehidupan kita di Buol?

Dengan dominasi tata kelola hutan oleh korporasi, apa dampaknya untuk kehidupan masyarakat luas?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut coba dibahas dalam Film “Hutan untuk Siapa?” Yang telah rilis di YouTube (23/6) di Youtube. Film ini merupakan kolaborasi The Institute for Ecosoc Rights, FERN, dan Watchdoc Documentary berdasarkan hasil riset Ecosoc Institute berjudul: 

DAMPAK UU CIPTA KERJA TERHADAP TATA KELOLA HUTAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUTAN: Studi Kasus Tata Kelola Hutan di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Buol Sulawesi Tengah”

Dalam film dokumenter ini, ditampilkan Listan dari Tongon dan Sri Subekti yang merupakan transmigran di Modo sejak tahun 1980an. Keduanya merupakan petani plasma yang lahannya secara total digarap oleh PT.HIP. Mirisnya, selama kesepakatan plasma dimulai, keduanya mengaku tidak mendapatkan hasil sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya.

“‘Wah dengan lahan besar begini, bisa untung banyak, beli mobil, sekolahkan anak’, begitu katanya pada saat itu”, ungkap Sri Subekti mengaku tergiur pada saat dibujuk untuk menjadi petani sawit tahun 1995.

“‘Biar tidak kerja, kalau sudah ada sawit, akan tetap terima hasil’, begita katanya ketua pada saat itu, pak Suleman Batalipu” ujar Listan. Dari 14 hektar lahan Listan yang proses produksinya dipegang total oleh perusahaan, Listan mengaku tidak pernah menikmati hasil. 

Sementara itu, Sri Subekti dengan lahan yang masih memiliki 8 hektar untuk plasma, mengaku berkali-kali tidak mendapatkan bayaran.

Lebih lanjut, selain Listan dan Sri Subekti, masih ada ribuan petani plasma lain di Buol yang tergabung ke dalam Koperasi Plasma. Sejak tahun 1995, PT CCM (Cakra Cipta Murdaya), induk perusahaan PT.HIP memulai dengan pola kebun inti, lalu mulai beralih kepada pola plasma sejak tahun 2000.

Sementara itu, menurut Bupati Buol, Amirudin Rauf, proses pembukaan lahan sawit di Buol memang sarat masalah. Di sisi lain Sri Palupi dari The Ecosoc Institute menyoroti bagaimana kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani. Kondisi pengelolaan sawit dikatakan sangat rawan konflik agraria, dengan tidak adanya transparansi dari perusahaan.

Misalnya pada September 2021, saat terjadi konflik di kebun sawit di desa Tongon. Para petani yang melakukan protes dengan cara memanen sendiri dan menjual sawitnya ke daerah lain, kemudian ditangkap oleh PT.HIP, bahkan Listan sampai saat film ini dibuat, masih menjadi buronan karena kasus tersebut. 

Tidak hanya dampak sosial dan ekonomi, yang paling terasa dari polemik ini adalah dampak lingkungannya. Kabupaten Buol ditetapkan sebagai kawasan kritis oleh pemerintah pusat dengan tingkat degradasi lingkungan yang terjadi. Tidak heran kemudian Kabupaten Buol semakin rawan bencana, banjir yang kerap terjadi, misalnya. Selama 3 tahun terakhir, tercatat setidaknya terjadi 57 bencana banjir di Buol.

Persoalan hutan dan tata kelola sawit menjadi semakin kompleks, digambarkan dalam film dokumenter ini. Tidak sinkronnya kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat menjadikan masalah ini semakin berkepanjangan. Di Buol sendiri, saat pemerintah daerah telah berusaha menutup pintu investasi baru, pemerintah pusat justru memberikan izin perluasan kebun sawit, melalui Kementerian Lingkungan Hidup. Anehnya, izin ini justru dikeluarkan saat presiden menerapkan moratorium sawit. 

Lebih lanjut, di Kabupaten Buol sendiri KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Pogogul secara signifikan merasakan bahwa peran kewenangannya ditarik sejak disahkannya UU Cipta Kerja. Yang dilakukan KPH pada saat ini hanyalah sebatas mengawasi kegiatan-kegiatan yang terjadi di kawasan hutan. 

Di sisi lain, ‘Film Hutan Untuk Siapa?’ juga memberikan gambaran pengelolaan hutan di Kabupaten Sigi sebagai perbandingan dengan lahan non-sawit yang dimilikinya. 

Kemudian juga adanya hutan adat di Desa Toro, Sigi sebagai contoh bagaimana masyarakat disiplin membuat batas-batas yang jelas untuk melindungi kawasan hutannya. Bagaimana di Toro, masyarakat menghormati hukum adatnya dalam melindungi hubungannya dengan sesama manusia dan alam. Sayangnya, hal ini tidak didukung oleh pemerintah pusat.

Film ini berusaha memberikan literasi bagaimana tata sistem tata kelola hutan hendaknya dibenahi dalam banyak aspek, terutama dalam hal melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Sayangnya, berdasarkan fakta temuan hasil riset Ecosoc Institute, justru adanya Undang-Undang Cipta Kerja lah yang melemahkan partisipasi masyarakat. 

Terkait UU Cipta Kerja dan implikasinya terhadap persoalan multisektor yang mengancam tata kelola hutan, berikut poin-poin yang disoroti The Ecosoc Institute:

  1. Hilangnya batas minimal 30% luasan hutan yang harus dipertahankan

  2. Kemudahan alih fungsi kawasan hutan

  3. Kemudahan pemberian izin pemanfaatan hutan

  4. Melemahnya perlindungan terhadap kawasan hutan

  5. Pengukuhan kawasan hutan tidak mengoreksi kesalahan lama

  6. Pemutihan usaha/kegiatan ilegal di kawasan hutan

  7. Tidak mengoreksi ketimpangan dalam pemanfaatan hutan.

Sebelumnya, film ini telah tayang perdana di Hotel Surya Wisata pada Nobar dan Diskusi yang diselenggarakan pada 22/6 serta diputar di 3 desa di Modo.


(ram)


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Kami menerima siaran pers untuk kegiatan sosial dan nonprofit secara Gratis! Pasang Iklan Banner dan Artikel Iklan di Buol Online mulai Rp 350 ribu, untuk Media Partner dan kontrak kerjasama jangka panjang hubungi Admin PT. Buolpedia Media Indonesia di 0822-9631-0002