Nobar dan Diskusi: Tata Kelola Hutan & UU Cipta Kerja Untuk Siapa?
Potret kegiatan sedang berlangsung Foto: fb/Rudianto |
Buol–Telah diselenggarakan Kegiatan Nonton Bareng dan Diskusi: “Tata Kelola Hutan & UU Cipta Kerja, Untuk Siapa?” di Hotel Surya Wisata Buol (22/6) pukul 19.00 WITA.
Acara ini diselenggarakan oleh Gerakan Literasi Mongopi Kaki Lima, berkolaborasi dengan The Institute of Ecosoc Rights serta beberapa komunitas, organisasi pemuda, Lembaga Bantuan Hukum, serta Media Partner lokal Kabupaten Buol.
Adapun agenda utama yang menjadi bagian pembuka dari acara ini adalah pemutaran perdana film “Hutan Untuk Siapa?” yang terwujud atas kolaborasi The Institute for Ecosoc Rights dan Watchdoc Documentary. Film Dokumenter tersebut mengambil latar Kabupaten Buol dan Sigi di Sulawesi Tengah khususnya terkait polemik ekonomi, sosial, dan budaya di desa sawit vs desa non-sawit, sesuai hasil riset yang dilakukan oleh The Institute for Ecosoc Rights.
Setelah pemutaran film, Sri Palupi dari The Institute For Ecosoc Rights mempresentasikan hasil risetnya, bagaimana sesuai digambarkan dalam film dokumenter pemerintah daerah dihadapkan dengan persoalan hutannya.
Dalam presentasinya, secara gamblang Sri Palupi mengatakan bagaimana adanya plasma itu bukan merupakan solusi untuk kesejahteraan rakyat, melainkan bentuk perampasan lahan rakyat. “Sebelumnya kami fokus meneliti soal persoalan plasma di Indonesia. Sulawesi memiliki tata kelola sawit terburuk di Indonesia, dan Buol adalah yang paling buruk di Sulawesi”, ujar Sri Palupi dalam presentasinya.
Bagaimana tata kelola sawit dilakukan dengan baik, menjadi representasi baik-buruknya tata kelola hutan, apakah hutan benar-benar menjadi hak untuk kemakmuran rakyat, atau justru menjadi sumber keuntungan bagi segelintir konglomerat saja. Dengan studi kasus di Buol dan Sigi, Sri Palupi memaparkan bagaimana tidak sinkronnya usaha pemerintah daerah dan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dalam hal tata kelola hutan. Alih-alih melindungi hutan untuk kemakmuran rakyat, pemerintah justru mengesahkan UU Cipta Kerja yang memberikan dampak semakin kompleks bagi pengelolaan hutan kita. Dihapuskannya kewajiban daerha untuk mempertahankan 30% hutan, melemahnya peran DPR dan KPH dalam kontrol dan pengelolaan hutan, adanya pemutihan akan pelanggaran-pelanggaran terhadap hutan, adalah beberapa hal yang esensial yang disoroti Sri Palupi terkait UU Cipta Kerja. Yang paling signifikan adalah bagaimana pemerintah dengan UU Cipta Kerja justru tidak lagi mengoreksi ketimpangan di dalam pengelolaan hutan.
Buruknya tata kelola hutan berdampak besar untuk kehidupan kita. Meskipun sekilas tidak terasa dampaknya bagi masyarakat luas, kita tidak bisa menutup mata dengan dampak-dampak seperti meningkatnya intensitas bencana dan tidak menentunya cuaca yang mempengaruhi kegiatan bertani masyarakat pada umumnya. “Walaupun iklim global berubah, jika kita masih bisa menjaga hutan lokal, sebenarnya iklim lokal kita masih bisa terjaga”, ungkap Sri Palupi. Mengenai hal ini, Ia juga menambahkan bahwa secara nasional Buol telah masuk ke dalam kategori kawasan kritis.
Saat ini, The Institute of Ecosoc Rights tengah menyusun buku saku Panduan Memahami UU Cipta Kerja untuk membantu masyarakat mendapatkan literasi terkait bagaimana UU tersebut mengambil hak-hak masyarakat.
Selanjutnya, dihadirkan tiga perwakilan penanggap, yakni pihak Pemerintah Daerah, Bupati Buol H.Amirudin Rauf, Sp.Og diwakili oleh representatif dari Dinas PU Bidang Penataan Ruang dan Kota; Apt. Haslinda, S.Farm dari LBH Sulteng, serta Ismajaya dari KRB Kabupaten Buol. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama peserta.
Acara akhirnya ditutup dengan pemberian hasil riset kepada perwakilan pemerintah daerah dan petani plasma. Diharapkan melalui acara ini, masyarakat Buol dapat lebih terliterasi terkait pentingnya kesadaran akan masalah hutan di Buol.
Potret kru penyelenggara dan peserta setelah acara berakhir Foto: fb/Fitriani Islam |
(ram)